Kamis, 24 Maret 2016

Riwayat KH.Abdul Hamid ( Kiyai Hamid Pasuruan )

Riwayat KH.Abdul Hamid ( Kiyai Hamid Pasuruan )

  


KH. Abdul hamid  bin Abdullah bin Umar Basyaiban BaAlawi  Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan

Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.



Masa Kecil


Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.

“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.



Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.

Menjadi Blantik

Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.

Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.


Sumber : http://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/01/11/biografi-kh-abdul-hamid-pasuruan-jawa-timur/

Benarkah Ternyata Tarekat Itu BID'AH

Benarkah Ternyata Tarekat Itu BID'AH


 

Hb. Lutfi: Benarkah tarekat itu bid’ah

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pernah membaca buku yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam sebuah kelompok disebut sesat dan bid’ah? Mohon penjelasan, apa batasan bid’ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu Hayyan


Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur’an. Orang yang mempelajari Al-Qur’an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur’an.

Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa terjadi di zaman tabi’in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.

Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur’an siap menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur’an yang cukup.

Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada. Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?

Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, “Kalimat La ilaha Illallah itu benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku.” Apakah ini tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?

Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu yang bid’ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui, termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya sebagai bid’ah. Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan hanya kita sendiri yang mengerti bid’ah?

Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat, rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal dan haram.

Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan, sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.

Sumber: http://sufiroad.blogspot.com/2012/05/hb-lutfi-benarkah-tarekat-itu-bidah.html

Adab tata cara Suluk Dalam Tarekat

Adab tata cara Suluk Dalam Tarekat


Suluk  berarti perjalanan ruhani seorang hamba dengan tujuan untuk mendekatkan diri, memohon ampunan, dan berkehenda mendapat ridho Allah SWT . dengan melalui tahapan-tahapan penyucian jiwa (tazkaiatun – nafsi) yang dipraktekan ke dalam latihan-latihan ruhani( riadlatur-ruhaniah) secara istiqamah dan mudawamah.
Seseorang yang melaksanakan suluk dinamakan salik. Orang suluk beriktikaf di masjid atau surau, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau Salafus Shaleh. Masa suluk itu dilaksanakan 10 hari, 20 hari atau 40 hari. Orang yang melaksanakan suluk itu wajib di bawah pimpinan seorang yang telah ma’rifat, dalam hal ini adalah Syekh Mursyid.
Setiap orang yang suluk meyakini, bahwa dirinya akan menjadi bersih dan tobatnya akan diterima oleh Allah SWT, sehingga dia menjadi taqarrub, dekat diri kepada-Nya. Syekh Amin Al Kurdi mengatakan, tidak mungkin seseorang itu sampai kepada makrifatullah dan hatinya bersih serta bercahaya, sehingga dapat musyahadah kepada yang mahbub, yang dicintai yaitu Allah SWT, kecuali dengan jalan suluk atau berkhalwat. Dengan cara inilah seseorang salik yang menghambakan dirinya kepada Allah SWT semata-mata, bisa sampai kepada yang dimaksud (Amin Al Kurdi 1994 : 430).
1.      Syarat-Syarat Suluk
Syekh Amin Al Kurdi dalam bukunya “Tanwirul Qulub” mengatakan ada 20 syarat suluk:
1). Berniat ikhlas, tidak riya dan sum’ah lahir dan batin.
2). Mohon ijin dan do’a dari syekh mursyidnya, dan seorang salik tidak memasuki rumah suluk sebelum ada ijin dari syekh selama dia dalam pengawasan dan pendidikan.
3). ‘Uzlah (mengasingkan diri), membiasakan jaga malam, lapar dan berzikir sebelum suluk.
4). Melangkah dengan kaki kanan pada waktu masuk rumah suluk. Waktu masuk seorang salik mohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan dan membaca basmalah, setelah itu dia membaca surat An Nas tiga kali, kemudian melangkah kaki kiri dengan berdo’a,
Artinya : Ya Allah, yang menjadi pelindung di dunia dan akhirat, jadikanlah aku sebagaimana Engkau telah menjadikan penghulu kami Muhammad SAW dan berilah aku kurnia, rizki mencintai-Mu. Berilah aku kurnia, rizki mencintai kekasih-Mu. Ya Allah, sibukkanlah aku dengan kecantikan-Mu dan jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang ikhlas. Ya Allah hapuskanlah diriku dengan tarikan zat-Mu, wahai Yang Maha Peramah yang tidak ada orang peramah bagi-Nya. Ya Tuhan, janganlah Engkau biarkan aku tinggal sendirian, sedangkan Engkau adalah sebaik-baik orang yang mewarisi.
Setelah itu dia masuk ke Musholla lalu mengucapkan,
Artinya : Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan hanif/lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.
Kalimat itu dibaca 21 kali. Setelah itu baru melaksanakan shalat sunat 2 rakaat. Setelah membaca Al Fatihah di rakaat pertama, dibaca ayat kursi (Al Baqarah 2 : 255) dan di rakaat kedua setelah membaca Al Fatihah, dibaca Amanar Rasul (AlBaqarah 2 : 285). Dan setelah salam membaca Ya Fatah ( ) 500 kali.
Artinya : Seseorang itu memohon kepada Allah agar dibukakan makrifat-Nya.
5). Berkekalan wudlu atau senantiasa berwudlu.
6). Jangan berangan-angan untuk memperoleh keramat.
7). Jangan menyandarkan punggungnya ke dinding.
8). Senantiasa menghadirkan musyid.
9). Berpuasa.
10). Diam, tidak berkata-kata kecuali berzikir atau terpaksa mengatakan sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah syariat. Berkata-kata yang tidak perlu akan menyia-nyiakan nilai khalwat dan akan melenyapkan cahaya hati.
11). Tetap waspada terhadap musuh yang empat, yaitu syetan, dunia, hawa nafsu dan syahwat.
12). Hendaklah jauh dari gangguan suara-suara yang membisingkan.
13). Tetap menjaga shalat jum’at dan shalat berjama’ah karena sesungguhnya tujuan pokok dari khalwat adalah mengikuti Nabi SAW.
14). Jika terpaksa keluar haruslah menutupi kepala sampai dengan leher dengan memandang ke tanah.
15). Jangan tidur, kecuali sudah sangat mengantuk dan harus berwudlu. Jangan karena hendak istirahat badan, bahkan jika sanggup, jangan meletakkan rusuk ke lantai/berbaring dan tidurlah dalam keadaan duduk.
16). Menjaga pertengahan antara lapar dan kenyang.
17). Jangan membukakan pintu kepada orang yang meminta berkat kepadanya, kalau meminta berkat hanya kepada Syekh-Syekh Mursyid.
18). Semua nikmat yang diperolehnya harus dianggapnya berasal dari Syekh-Syekh Mursyid, sedangkan Syekh-Syekh Mursyid memperolehnya dari Nabi Muhammad SAW.
19). Meniadakan getaran dan lintasan dalam hati, baik yang buruk maupun yang baik, karena lintasan-lintasan itu akan membuyarkan konsentrasi munajat kepada Allah SWT sebagai hasil dari zikir.
20). Senantiasa berzikir dengan kaifiat yang telah ditetapkan oleh syekh Syekh Mursyid baginya, hingga sampai dengan dia diperkenankan atau dinyatakan selesai dan boleh keluar (Amin Al Kurdi 1994 : 430-431).
Pelaksanaan suluk pimpinan Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya disamping memenuhi syarat suluk tersebut, adalagi ketentuan adab suluk yang pada prinsipnya sama dengan syarat suluk yang 20 tadi. Ada 21 adab suluk yang inti pokoknya mengatur ketentuan-ketentuan orang yang suluk itu supaya mendapatkan hasil maksimal dalam suluknya. Ada lagi 9 (sembilan) adab setelah keluar dari suluk, yang harus diperhatikan dan dipedomani agar hasil Ubudiyah suluk itu dapat dipertahankan dan bahkan dapat lebih ditingkatkan lagi.

Silsilah ( sanad ) Talqin Dzikir Kaum Sufi ( Tarekat )

Silsilah ( sanad ) Talqin Dzikir Kaum Sufi ( Tarekat )

Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Adapun penjelasan tentang sanad (silsilah) kaum sufi dalam mendikte dan membimbing secara lisan
(talqin) kalimat Tauhid: La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah) kepada para murid (para pemula yang ingin mencari tarekat) adalah sebagaimana yang diriwayatkan berikut ini: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mendikte dan membimbing para Sahabatnya secara lisan akan kalimat Tauhid, La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah) secara berjamaah dan individu. Dimana silsilah sanad mereka bersambung dan masing-masing kepada jamaah kaum yang dibimbing.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabrani dan lain-lain dengan sanad yang baik (hasan),
dari Sadad bin Aus dan dibenarkan oleh Ubadah bin Shamit, yang menceritakan: Suatu hari kami pernah berkumpul bersama Rasulullah Saw, lalu beliau bertanya, ‘Apakah diantara kalian terda pat orang luar (gharib) [yakni, ahlul-kitab]?”. Lalu kami (para Sahabat) menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah!” Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menutup pintu dan berkata, ‘Angkatlah tangan kalian dan ucapkan: “La Ilaaha Illallah” (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah).” Sadad bin Aus berkata: Kemudian kami mengangkat tangan kami sesaat dan mengucapkan kalimat, “La Ilaha IllaLlahu” (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah). “Lalu Rasulullah meletakkan tangannya sembari berdoa:

“Segala puji hanya milik Allah, ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengutusku dengan membawa Kalimat ini, Engkau memerintahku dengan Kalimat ini, Engkau telah menjanjikanku surga atas Kalimat ini, dan sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.“

Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada para Sahabat, “Apakah kalian tidak senang, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian ?”

Ini adalah dalil bagi para guru tarekat dalam men-talqin dzikir kepada para jamaah secara bersamaan. Adapun dalil mereka dalam men-talqin dzikir secara sendiri-sendiri, maka saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab para ahli hadis yang sempat saya telaah, akan tetapi Tuan Guru Yusuf al-Ajami, seorang guru silsilah telah meriwayatkan dalam risalahnya dengan sanad yang mutashil (sambung) sampai kepada Ali bin Abu Thalib r.a. yang mengatakan: Aku pernah meminta kepada Rasulullah Saw, “Tunjukkan aku jalan (cara) yang lebih dekat kepada Allah Azza wa-Jalla dan paling mudah untuk dilakukan oleh para hamba serta paling utama di sisi Allah Swt.” Maka Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Ali, engkau harus melanggengkan dzikir kepada Allah Azza wa-Jalla, baik secara sirri (rahasia) atau keras (terang-terangan).” Lalu aku menyahut, “Semua orang bisa berdzikir, wahai Rasulullah! Akan tetapi yang kuinginkan adalah engkau mau mengkhususkan sesuatu untukku.” Maka Rasulullah Saw bersabda:

“Jangan, wahai Ali, sebaik-baik apa yang aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah kalimat, ‘La Ilaha IllaLlah.’ Dan andaikan tujuh langit dan tujuh bumi berada pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ berada di piringan neraca [yang lain], tentu kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ akan tetap mengungguli (lebih berat).”

Untuk menguatkan Hadis ini adalah Hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan lain-lain dengan Hadis Maifu’ (sampai kepada Rasulullah Saw): Bahwa Musa a.s. pernah berkata kepada Tuhannya, “Ya Tuhan, ajari aku sesuatu, yang dengan sesuatu itu aku bisa mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu.” Kemudian Allah menjawab, “Wahai Musa, ucapkan, ‘La Ilaha IllaLlah’ (Tiada Tuhan selain Allah).” Lalu Musa berkata, “Wahai Tuhan, seluruh hamba-Mu telah mengucapkan kalimat ini,” Allah menjawabnya, “Ucapkan, ‘La Ilaha IllaLlah’ (Tiada Tuhan selain Allah).” Musa balik berkata, “Ya Tuhanku, aku ingin sesuatu yang Engkau khususkan untukku. “ Allah menjawab, “Wahai Musa, andaikan tujuh langit dan tujuh bumi berada pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ berada di piringan neraca [yang lain], tentu kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ akan miring (lebih berat).”

Hadis ini adalah sebanding dengan apa yang ditanyakan Ali r.a. kepada Rasulullah Saw. Dan dalam Hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada Ali r.a., “Wahai Ali, Kiamat tidak akan segera terjadi sementara di muka bumi ini masih ada orang yang mengucapkan, Allah’.”

Tuan Guru Yusuf al-Ajami mengatakan: Kemudian Ali r.a. meminta kepada Rasulullah Saw. untuk membimbing dzikir secara lisan (talqin) sembari berkata: “Bagaimana aku berdzikir?” Maka Rasulullah Saw. berkata, “Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, kemudian kamu ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) tiga kali, sementara aku mendengarkanmu.” Kemudian Rasulullah Saw. mengucapkan: La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sementara Ali mendengarkannya. Lalu Ali r.a. menirukannya dengan mengucapkan La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sementara Nabi Saw. mendengarkannya.

Saya tidak menemukan dalil dan landasan tentang cara yang diajarkan Rasulullah Saw. kepadaAli r.a. ini. Sementara hanya Allah yang Mahatahu.

Tuan Guru Yusuf al-Jami —rahimahullah— mengatakan: Rasulullah Saw. memerintahkan para Sahabat untuk menutup pintu ketika beliau hendak membimbing dzikir secara lisan kepada para Sahabatnya dengan lebih dahulu bertanya, ‘Apakah diantara kalian terdapat orang luar (gharib) [yakni, ahlul-kitab]?”—sebagaimana Hadis di muka— adalah untuk mengingatkan bahwa tarekat kaum sufi dibangun atas dasar ketertutupan. ini berbeda dengan Syariat suci. Sehingga seorang pengikut tarekat kaum sufi tidak diperkenankan membicarakan hakikat di depan orang yang tidak meyakininya, karena dikhawatirkan bisa berakibat mengingkarinya, dan kemudian membenci!

Dari sini sebagian dari para ahli hadis mengingkari bahwa Hasan al-Bashri pernah mendapatkan bimbingan secara lisan tentang dzikir kalimat (Tidak ada Tuhan selain Allah dari Ali r.a., karena sangat langkanya dan sedikitnya argumentasi untuk menguatkan akan hal itu secara masyhur. Bahkan sebagian dari mereka juga mengingkari bahwa Hasan al-Bashri sempat berkumpul dengan Ali bin Abu Thalib r.a., apalagi tentang kesempatan mendapatkan bimbingan tarekat dari Ali r.a. Tapi yang benar, ia sempat berkumpul dengan Ali r.a. dan ia sempat mendapatkan bimbingan secara lisan tentang dzikir La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) dari Ali r.a. dan Ali pun sempat memakaikan serpihan kain (khirqah) kepada al-Hasan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar dan muridnya, al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi —rahimahumallah— meriwayatkan, dimana ia mengatakan bahwa sanadnya sahih dan para perawinya juga bisa dipercaya: Sesungguhnya Hasan al-Bashri pernah berkata: ‘Aku pernah mendengar Ali r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:‘Umatku ibarat hujan, tidak diketahui mana yang terbaik, yang pertama atau yang terakhir?’.”

Dalam riwayat lain dari Hasan al-Bashri yang mengatakan: Aku pernah mendengarAli r.a. di Madinah, ’dimana ia mendengar suara, lalu ia bertanya: “Apa gerangan ini?” Orang-orang menjawab, “Utsman bin Affan terbunuh!!” Lalu ia berkata: “YaAllah, sesungguhnya aku bersaksi kepada-Mu, bahwa aku tidak rela dan tidak peduli [siapa pun pembunuhnya].”

Dalam Musnad Ibnu Musdi, dari Hasan al-Bashri yang berkata: “Aku pernah berjabat tangan dengan Ali bin Abu Thalib r.a.”

Jalaluddin as-Suyuthi —rahimahullah— mengatakan: “Menurut hemat saya dan juga sekelompok para Huffazh (penghafal Hadis) riwayat Hasan al-Bashri dan Alii bin Abu Thalib r.a. memang benar dan ada.”

Jalaluddin as-Suyuthi —rahimahullah— juga mengatakan: Demikian halnya apa yang dikemukakan guru kami, al-Hafizh Ibnu Hajar juga sama dengan pernyataan kami, dimana ia memberikan dukungan, dengan mengatakan: Hal ini bisa diperkuat oleh berbagai aspek: Pertama, bahwa apa yang ditetapkan (mutsbat) akan didahulukan daripada yang meniadakan (menafikan); Kedua, al-Hafizh menyebutkan, bahwa Hasan al-Bashri pernah shalat di belakang Utsman bin Affan r.a.. Dan ketika Utsman terbunuh, maka ia shalat di belakang Ali r.a. ketika ia datang di Madinah. Ia juga pernah berkumpul dengan Ali r.a. setiap hari sebanyak lima kali. Syekh Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan hal ini secara panjang lebar pada bagian yang ia tulis mengenai kebenaran mengenakan serpihan kain, tarekat al-Qadiriah, ar-Rifa’iah dan as-Suhrawardiah. Maka sebaiknya anda merujuk kembali pada penjelasannya.

Maka bisa diketahui, bahwa sanad talqin (bimbingan dzikir secara lisan) dan mengenakan serpihan kain (khirqah) yang berlaku di kalangan ulama salaf antara satu dengan yang lain tidak terdapat sanad yang tetap sesuai dengan cara yang ditempuh para ahli hadis, karena mereka telah berprasangka baik terhadap generasi pendahulunya. Sampai pada akhirnya muncul al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi serta orang-orang yang sependapat dengan mereka. Kemudian mereka menyatakan benar dan sahih, bahwa Hasan al-Bashri pernah mendengar Ali r.a. Mereka juga menjadikan sanadnya bersambung (mutashil) sampai kepada al-Bashri. Maka anda jangan heran dan merasa aneh, wahai saudaraku, bila sebagian para ahli hadis menyatakan Mauquf (berhenti) tentang persambungan sanad mengenakan serpihan kain dan bimbingan dzikir secara lisan, karena memang hal itu tidak bisa dilakukan, dimana sebagian besar kaum sufi merasa kesulitan untuk mengeluarkan (takhrij) dan kitab-kitab para ahli hadis. Semoga Allah Swt. senantiasa memberi rahmat kepada Ibnu Hajar dan Jalaluddin as-Suyuthi yang telah menjelaskan tentang persambungan sanad masalah tersebut.

Insya Allah hal mi bakal kamijelaskan lebih lanjut ketika kami membicarakan teiitang sanad mengenakan serpihan kain, dimana Syekh Muhyiddin Ibnu al-Arabi tidak pernah melihat persambungan sanad mengenakan serpihan kain melalui cara menukil (mengalihkan kepada orang lain) secara lahiriah. Kemudian ia mengambilnya melalui Nabi Khidhir a.s. ketika ia sedang berkumpul dengannya, sampai akhirnya dijadikan sebagai rujukan dalam sanad. Dan segala puji hanya milik Allah.

Bila sekarang anda telah tahu akan kebenaran dan kesahihan sanad kaum sufi dan sambungnya sanad taiqin dan Nabi Saw. kepada Ali bin Abu Thalib r.a., maka Au r.a. juga mentaiqin Hasan al-Bashri, kemudian Hasan al-Bashri men-talqin Habib al-Ajami, dan Habib al-Ajami men-talqin Dawud ath-Tha’i, kemudian Dawud ath-Tha’i men-talqin Ma’ruf al-Karkhi, kemudian Ma’ruf al-Karkhi men-talqin Sari as-Saqathi, kemudian Sari as-Saqathi men-talqin Abu al-Qasim al-Junaid, kemudian al-Junaid men-talqin al-Qadhi Ruwaim, kemudian Ruwaim men-talqin Muhammad bin Khafif asy-Syirazi, kemudian Ibnu Khafif men-talqin Abu al-Abbas an-Nahawandi, kemudian an-Nahawandi men-taiqin Syekh Faraj az-Zanjani, kemudian az-Zanjani men-talqin Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, kemudian Syekh Syihabuddin men-talqin Syekh Najibuddin Burghusy asy-Syirazi, kemudian Ibnu Burghusy men-talqin Syekh Abdush-Shamad an-Nathtani, kemudian Syekh Abdush-Shamad men-talqin Syekh Hasan asy-Syamsiri, kemudian asy-Syamsiri men-talqin Syekh Najmuddin, kemudian Syekh Najmuddin men-talqin Syekh Mahmud al-Ashfahani, kemudian Syekh Mahmud men-talqin Syekh Yusuf al-Ajami al-Kurani, kemudian Syekh Yusuf men-talqin Syekh Hasan at-Tustari yang dimakamkan di dekat jembatan al-Muski Mesir al-Mahrusah, kemudian Syekh Hasan men-talqin Syekh Ahmad bin Sulaiman az-Zahid, kemudian az-Zahid men-talqin Syekh Madyan, kemudian Syekh Madyan men-talqin Syekh Muhammad, putra dan saudara perempuan Madyan, Tuan Guru Muhammad men-taiqin Syekh Muhammad as-Surawi dan Syekh Ali al-Murshifi. Kedua Tuan Guru tersebut yang membimbing kami bertobat dan men-talqin hamba yang selalu membutuhkan pertolongan Allah ini Abdul-Wahab bin Ahmad asy-Sya’rani, penulis risalah ini.

Kemudian saya juga pernah mendapatkan bimbingan dzikir secara lisan (talqin) dari Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi, seorang murid dan kedua guru saya yang terakhir tersebut, dimana beliau membimbing saya dalam bertobat dan memberi izin saya untuk men-talqin dzikir dan mendidik para murid sufi, untuk meniru dan mencari berkah terhadap tarekat kaum sufi.

Sayajuga memiliki jalur tarekat lain yang sanadnya lebih dekat dan kedua sanad di atas, dimana saya pernah mendapatkan bimbingan secara lisan dari Syekh Islam Zakaria al-Anshani, dimana ia mendapatkan bimbingan dari Tuan Guru Muhammad al-Ghamari, murid dari Tuan Guru Ahmad az-Zahid, teman dari Syekh Madyan. Sehingga silsilah antara saya dengan Syekh az-Zahid hanya ada dua orang. Darij alur ini saya sejajar dengan Tuan Guru Muhammad as-Surawi, guru dari Syekh Muhammad asy-Syanawi. Akan tetapi dan jalur ini tidak ada yang mengizinkan saya untuk men-talqin dan mendidik para murid sufi, selain Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi.

Saya juga merniliki jalur tarekat lain, selain jalur-jalur di atas, dimana antara saya dengan Rasulullah Saw. hanya terdapat dua orang silsilah. Jalur ini saya dapatkan bimbingan dari Tuan Guru Ali al-Khawwash, dimana dia pernah mendapatkan bimbingan dari Tuan Guru Ibrahim al-Matbuli yang langsung mendapatkan bimbingan dari Rasulullah Saw. secara sadar dengan lisan dan dengan cara yang sudah dikenal di kalangan kaum sufi di alam ruhaniah. Kemudian Tuan Guru Ali al-Khawwash sebelum wafat juga mendapatkan bimbingan langung dari Rasulullah Saw. tanpa perantaraan silsilah orang lain, sebagaimana yang pernah didapatkan oleh gurunya, Syekh Ibrahim al-Matbuli. Dengan demikian antara saya dengan Rasulullah Saw. hanya ada satu orang silsilah. Jalur tarekat ini hanya saya sendiri yang bisa mendapatkan di Mesir sampai saat ini. Sebagaimana yang saya jelaskan dalam Kitab al-Minan wal-Akhlaq dan dalam Kitab al-’Uhud al-Muhammadiyyah. Dan hanya Allah yang Mahatahu.

Ketika Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi —rahimahullah— membimbingku dzikir secara lisan, ia menyenandungkan bait syair berikut:

Aku bingung di malarnku, selagi aku hidup.

Jika aku mati, maka siapa yang akan bingung setiap malamnya setelahku, Kemudian dia berkata kepadaku: Sudah menjadi tradisi para guru tarekat sufi, setelah mereka men-talqin muridnya akan menyebutkan sanad (silsilah) talqin yang mereka dapatkan dari guru sebelumnya, dan menyebutkan sanad mengenakan serpihan kain (khirqah) kepada sang murid sebelum sang guru mengenakan serpihan kain tersebut kepada sang murid. Dia juga memberi tahu saya, bahwa di NegaraYaman sana terdapat jamaah yang memiliki sanad talqin bacaan shalawat kepada Rasulullah Saw. Mereka membimbing bacaan shalawat kepada sang murid, sehingga mereka sibuk untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Sang murid akan terus memperbanyak shalawat kepada Nabi, sampai akhirnya ia bisa bertemu dengan Rasulullah Saw. secara sadar dan berbicara secara lisan. Ia bisa bertanya kepada Nabi tentang beberapa kejadian sebagaimana seorang murid yang bertanya kepada gurunya. Tingkatan spiritual sang murid ini ternyata naik begitu cepat dalam waktu hanya beberapa hari, sehingga ia tidak butuh lagi bimbingan dari para guru sufi, karena langsung dibimbing oleh Rasulullah Saw. sendiri.

Syekh Muhammad asy-Syanawi melanjutkan pembicaraannya: Guru kebenaran dalam menempuh jalur tarekat tersebut adalah ia bisa bertemu dengan Nabi Saw —sebagaimana yang kami sebutkan. Kalau ia tidak berhasil bertemu dan berkumpul dengan Nabi Saw. maka jalur tarekatnya jelas tidak benar. Dan diantara orang yang bisa berhasil bertemu dengan Nabi Saw. adalah Syekh Ahmad az-Zawawi ad-Damanhuri, dimana wirid shalawatnya kepada Nabi Saw. setiap harinya sebanyak lima puluh ribu kali shalawat dengan lafal berikut:

“Ya Allah, semoga shalawat (rahmat) tetap Engkau berikan kepada Junjungan kita Muhammad, seorang Nabi yang Llmmi dan kepada keluarga serta para Sahabatnya, dan juga salam sejahtera kepadanya.”

Dan diantara orang yang juga berhasil menempuh jalur ini adalah Syekh Nuruddin asy-Syanwani, pendiri majelis shalawat yang ada di Jami al-Azhar. Termasuk juga orang yang berhasil menempuh jalur ini adalah Syekh Muhammad Dawud al-Mauzalawi, Syekh Muhammad al-SAil ath-Thanaji, Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dan sekelompok orang yang kami sebutkan dalam Mukadimah Kitab al-Vhud 4- Muhammadiyyah dan generasi terdahulu dan sekarang.

Saya mengambil tarekat shalawat mi melaluij alur Syekh Nuruddin asy-Syanwani yang mengatakan: “Bahwa diantara syarat-syaratnya adalah makan makanan yang halal, tidak menyibukkan diri dengan apa pun selain apa yang diizinkan oleh Syariat.” Maka segala puji hanya milik Allah, Tuhan Pemelihara alam.

Kisah Syeikh Abdul Qodir Jailani, Adab Ziarahi Ulama

Kisah Syeikh Abdul Qodir Jailani, Adab Ziarahi Ulama

Ada kalanya seorang murid ingin menjumpai untuk bersilaturahmi ataupun mengambil ilmu dan berkah dari ulama. akan tetapi terkadang ada niat ataupun bisikan hati yang berbeda yang bisa mengotori keberkahan dari pertemuan tersebut.
Dibawah ana masukkan sedikit cerita kisah didalam kitab
Al-Kawakib ad-Duriyyah ‘ala al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Ajlaa’ as-Saadat an-Naqsyabandiah oleh Syaikh ‘Abdul Majid bin Muhammad bin Muhammad al-Khani asy-Syafie

Shaikh Abdul Qadir Jilani diusia mudanya adalah seorang yang sangat jenius, cerdas dan gemar menuntut ilmu. Beliau mempunyai dua orang sahabat yaitu Ibnu as-Saqa dan Abu Said Abdullah Ibnu Abi Usrun, keduanya juga dikenal sebagai sosok yang cerdas.
Suatu saat Shaikh Abdul Qadir Jilani benerta kedua temannya sepakat untukm
mengunjungi seorang waliAllah yang bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani [440H – 535H: Beliau Abu Ya’qub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn al-Husain al-Hamdani adalah murid kepada Syaikh Abu ‘Ali al-Farmidhi dan guru kepada Shaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani – Masyaikh diTariqah Naqsyabandi. Kepada Syaikh Abdul Khaliq inilah dinisbahkan ‘amalan khatam khawajakhan dan yang mengatakan Syaikh Abu ‘Ali al-Farmidhi adalah guru kepada Imam al-Ghazali], yang dikenali sebagai al-Ghaus. Al-Ghaus adalah seorang ahli ibadah yang shaleh, waliAllah yang tinggal di pinggir kota. Namun beliau dikunjung banyak orang.

Sebelum berangkat, Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun berdiskusi mengenai niat atau maksud dari ziarah yang ingin mereka lakukan. Ibn as-Saqa berkata : Aku akan menanyakan persoalan yang susah agar ia bingung dan tidak bisa menjawabnya.
kemudian Ibn Abi Usrun juga berkata: Aku akan ajukan pertannyaan ilmiah, dan aku ingin melihat apakah yang ingin beliau katakan.

Akan tetapi Syaikh ’Abdul Qadir al-Jailani hanya diam membisu. Maka bertanyalah Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun kepada beliau: Bagaimana pula dengan engkau, wahai Abdul Qadir?
Syaikh Abdul Qadir menjawab: Aku berlindung dengan Allah dari mempertannyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin ziarah untuk mengambil barokah darinya

Kemudian berangkatlah tiga shahabat ini ke rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus. Setelah dipersilahkan masuk oleh al-Ghaus, beliau meninggalkan mereka seberapa ketika. Setelah menunggu agak lama, barulah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus keluar dengan pakaian kewaliannya untuk menemui mereka, dan berkata:

wahai Ibn as-Saqa, kamu berkunjung ke mari untuk mengujiku dengan permasalahan demikian, jawabnya adalah demikian (Syaikh Yusuf al-Hamdani menjelaskan jawabannya beserta dengan nama kitab yang dapat dijadikan rujukan). Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa, Keluarlah kamu! Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusuk mu.

Sedangkan kamu, ya Ibnu Abi Usrun, kamu ke mari dengan tujuan menanyakan permasaalahan ilmiah, jawabnya adalah demikian. Beliau, Syaikh Yusuf al-Hamdani lalu menjelaskan jawabannya berserta nama kitab yang membahas persoalan itu. Keluarlah kamu! Aku melihat dunia mengejar-ngejar kamu.

Kemudian Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus melihat kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, lantas berkata: Wahai anakku Abdul Qadir, Engkau diridhai Allah dan RasulNya dengan adabmu yang baik. Aku melihat engkau kelak akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Apa yang kamu ingin kan insyaallah akan tercapai. Aku melihat bahawa kamu nanti akan berkata “Kedua kakiku ini berada di atas pundak setiap para wali”.

Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah al-Ghaus.

Beberapa tahun kemudian, Ibnu as-Saqa diperintahkan raja untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Perdebatan ini atas permintaan Raja kaum Nashrani. Penduduk negeri telah sepakat bahawa mereka sebaiknya diwakili oleh Ibn Saqa. Dialah orang yang paling cerdas dan alim di antara kita, kata mereka. Maka berangkatlah Ibn Saqa untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Sesampainya Ibnu Saqa di negeri kaum Nashrani, dia terpikat dengan seorang wanita pada pandangan pertamanya. Lalu dia menghadap ayah si wanita untuk meminangnya. Ayah perempuan itu menolak, melainkan jika Ibn Saqa terlebih dahulu memeluk agama mereka (nashrani). Dia pun dengan serta merta menyatakan persetujuan dan memeluk agama mereka, menjadi seorang Nashrani.

kemudian Ibnu Abi Usrun, dia ditugaskan raja iaitu Sultan as-Shaleh Nuruddin asy-Syahid, untuk menangani urusan wakaf dan sedekah. Akan tetapi kilauan dunia selalu datang menggodanya dari berbagai penjuru hingga akhirnya ia jatuh dalam pelukannya.

Adapun Shaikh Abdul Qadir, kedudukannya terus menjulang tinggi disisi Allah juga disisi manusia sehingga sampai suatu hari beliau berkata “Kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali”. Suara beliau didengar dan dipatuhi oleh seluruh wali ketika itu. –

Demikian kisah diatas, kita bisa melihat bagaimana berkah yang didapat oleh syeikh abdul qadir al jilani yang menjadikannya seorang sulthon Awlia di jamannya.
Mudah-mudahan kita bisa mencontoh Syeh Abul Qadir Al Jilani untuk menjaga ADAB ketika bertemu dengan seorang Ulama

Pengertian Tata Cara Rabitah Dalam Tarekat

Pengertian Tata Cara Rabitah Dalam Tarekat

 
Rabithah dalam pengertian bahasa(lughat) artinya bertali, berkait atau berhubungan. Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniah guru,Guna mendapatkan wasilah dalam rangka perjalanan menuju Allah. Syaikh Mursyid adalah Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah. Mereka adalah wasilah atau pengantar menuju Allah. Jadi tujuan murobith adalah memperoleh wasilah.Rabithah antara murid dengan guru biasa adalah transfer of knowledge , yakni mentransfer ilmu pengetahuan, maka rabithah antara murid dengan guru mursyid adalah transfer of spiritual, yakni mentransfer masalah-masalah keruhanian. Di sinilah letak perbedaannya. Kalau transfer of knowledge tidak bisa sempurna tanpa guru, apalagi transfer of spiritual yang jauh lebih halus dan tinggi perkaranya, maka tidak akan bisa terjadi tanpa guru mursyid.

Dasar-dasar utamanya adalah penunjukan yang dilakukan oleh Tuhan lewat guru mursyid atau ilham dari Allah Swt Karena itu tidak semua orang bisa menjadi guru mursyid. Seorang mursyid adalah seorang yang ruhaninya sudah bertemu Allah dan berpangkat waliyan mursyida, yakni kekasih Allah yang layak menunjuki umat sesuai dengan hidayah Allah yang diterimanya. Hal ini seperti dijelaskan dalam surat al Kahfi ayat 17.

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang Luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barang siapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. al Kahfi : 17)

Jadi jelas fungsi guru mursyid adalah sebagai pembimbing ruhani, di samping itu juga sebagai orang tua yang harus dipatuhi segala perintahnya dan dijauhi segala yang dilarangnya. Dengan demikian seorang murid merasa takut manakala meninggalkan perintah agama dan atau melanggar larangan agama, karena waktu itu akan terbayanglah bagaimana marahnya wajah guru mursyid manakala dia berbuat demikian.

Hal yang demikian ini pulalah yang menyebabkan nabi Yusuf merasa takut dan enggan ketika hendak diajak berzina oleh Siti Zulaikha. Terbayanglah oleh nabi Yusuf as wajah ayahnya (nabi Ya’kub) atau wajah suami Zulaikha (Qithfir) manakala ayahnya atau suami Zulaikha mengetahui apa yang akan diperbuatnya.
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ ۚ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24)

Dasar-Dasar Rabithah Mursyid



Dasar-dasar hukum yang digunakan sebagai dalil terhadap rabithah adalah firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt supaya kamu beruntung (sukses). (QS. Ali Imran : 200).

Kata warabithu dalam ayat ini adalah diambil arti hakikinya, lebih dalam dari sekedar makna lahiriahnya yaitu mengadakan penjagaan di pos-pos penting dalam situasi peperangan, agar musuh tidak menerobos. Kalau perang fisik, seseorang menjaga pertahanan wilayah dari serbuan musuh-musuh dari orang kafir, maka dalam perang metafisik, orang mengadakan rabithah di wilayah hati agar syetan tidak menyusup ke wilayah hati sanubari tersebut. Itulah yang menjadi dasar-dasar rabithah bagi para pakar tawasuf / thareqat. Menurut mereka rabithah mursyid adalah salah satu memperoleh wasilah menuju Allah. Firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah / jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihatlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al Maidah : 35)

Menurut pendapat ahli thareqat, mafhum al-wasilah dalam ayat ini bersifat umum. Wasilah dapat diartikan dengan amal-amal kebajikan Berkumpul dan bergandengan dengan guru mursyid secara lahir atau batin termasuk amal yang baik dan terpuji. Berkumpul dan bergabung itulah oleh kalangan ahli thareqat disebut dengan rabithah mursyid. Jika diperintah mencari wasilah, maka rabithah adalah wasilah yang terbaik diantara jenis wasilah yang lain. Firman Allah
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Ayat di atas menurut kalangan thareqat, isyarat kepada rabithah, sebab “mengikut” فَاتَّبِعُونِي itu menghendaki melihat yang diikuti. Dan melihat yang diikuti ada kalanya melihat tubuhnya secara nyata (konkret) dan ada kalanya melihatnya secar hayal (abstrak). Melihat dalam hayal itulah yang dimaksud dengan rabithah. Jika tidak demikian, tentu tidak dapat dinamakan mengikut. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. at Taubah : 119)

Asy Syekh Ubaidillah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang yang benar, yang diperintahkan oleh Allah Swt dalam ayat itu terbagi dua:

· Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan keberuntungan dari orang-orang yang shiddiq.

· Bersama-sama maknawi, yaitu bersama-sama ruhaniah yang diartikan dengan rabithah.

Dalam hadist qudsi Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : “Tidak dapat bumi dan langit-Ku menjangkau/ memuat akan zat-Ku (yang membawa Asma-Ku / Kalimah-Ku), melainkan yang dapat menjangkaunya / memuatnya ialah Hati Hamba-Ku Yang Mukmin / suci, lunak dan tenang.” (Hadis Qudsi R. Ahmad dari Wahab bin Munabbih).

Dalam Sebuah Hadist Rasulullah SAW Bersabda :
كُنْ مَعَ الله فَ اِلَى مْتَكُنْ مَعَ الله فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ الله فَ اِنَّهُ يُوْاصِلُكَ اِلَّاَ الله

" Kun ma'allah faiilam takun ma'allah fakun ma'a man ma'allah fainnahu yuushiluka ilallah " ( HR. Abu daud )

“Jadilah ( Ruhani ) kalian Bersama Allah , Jika ( ruhani ) Kalian Belum Bisa Bersama Allah, Maka Jadilah Kalian Bersama Dengan Orang Yang ( Ruhaninya ) telah Bersama ALLAH, Sesungguhnya Mereka Akan menghantarkan ( Ruhani ) kamu Kepada Allah.”



Asy Syekh Muhammad Amin al Kurdi menyatakan wajibnya seorang murid terus-menerus me-rabithah-kan ruhaniahnya kepada ruhaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah Swt. Karunia yang didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyid tidak memberi bekas. Yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah Swt, sebab di tangan Allah Swt sajalah seluruh perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk men-tasaruf-kannya kecuali Allah Swt. Hanya saja Allah Swt men-tasaruf-kannya itu, melalui pintu-pintu atau corong-corong yang telah ditetapkan-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah Swt yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin al Kurdi: 1994, hlm. 448).



Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irdibiy Rhm. mengatakan:

“Sesungguhnya rasa dekat dengan Syekh Mursyid bukan dikarenakan dekat zatnya, dan bukan pula karena mencari sesuatu dari pribadinya, tetapi karena mencari hal-hal yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya (kedudukan yang telah dilimpahkan Allah atasnya) dengan mengi’tiqadkan (meyakini) bahwa yang membuat dan yang berbekas hanya semata-mata karena Allah Ta’ala seperti orang faqir berdiri di depan pintu orang kaya dengan tujuan meminta sesuatu yang dimilikinya sambil mengi’tiqadkan bahwa yang mengasihi dan memberi nikmat hanya Allah yang mempunyai gudang langit dan bumi, serta tidak ada yang menciptakan selain dari-Nya. Alasan ia berdiri di depan pintu rumah orang kaya itu karena ia meyakini bahwa di sana ada salah satu pintu nikmat Allah yang mungkin Allah memberikan nikmat itu melalui sebab orang kaya itu”. (Tanwirul Qulub : 527)

Dalam kitab Mafaahiim Yajiibu an Tus-haha karangan Syekh Muhammad ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani bahwa Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan:

“Sesungguhnya syi’ar kaum muslimin dalam peperangan Yamamah adalah: ‘Wahai Muhammad! (tolonglah kami)”.

Rasulullah SAW bersabda:

“Jika telah menyesatkan akan kamu sesuatu atau ingin minta pertolongan, sedangkan dia berada di satu bumi yang tidak ada padanya kawan, maka hendaklah dia berkata: ‘Wahai hamba Allah, tolonglah aku!’ Maka sesungguhnya bagi Allah itu ada hamba-hamba yang tidak dapat dilihat. Dan sungguh terbuktilah yang demikian itu”. (HR. Thabrani)

Dan lagi sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat selain Hafazhah yang menulis apa-apa yang jatuh dari pohon. Maka apabila menimpa kepincangan di bumi yang luas, hendaklah dia menyeru: ‘Tolong aku, wahai hamba Allah”. (HR. Thabrani)

Dikisahkan ketika anak-anak Ya’qub As. merasa bersalah (karena berusaha mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan memohon kepada Ya’qub As.
قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ
قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيم

“Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh hamba-Nya)”. (QS. Yusuf[12]: 96-98).

Inilah salah satu bukti bahwa permohonan do’a ampunan tidak hanya dilakukan si pemohon, tapi dapat dimintakan tolong kepada seseorang yang dianggap shaleh atau dekat kepada Allah SWT.



Adapun dalil sunah tentang rabithah antara lain tertera dibawah ini

Hadits Bukhari menyatakan:
أَنَّ اَبَا بَكْرِ الصِّدِّيْق رَضِىَ الله عَنْهُ شكا لِلنَّبِىِّ عَدَمَ انْفِكاَكِهِ. عَنْهُ حَتىَّ فِى الْخَلاَءِ

Bahwa Abu Bakar as Shiddik mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak pernah lekang (terpisah ruhaninya) dari Nabi Saw sampai ke dalam WC.



Sedangkan Sayyid Bakri berpendapat antara lain berbunyi sebagai berikut
وَيُضِمُّ أَيْضَا إِلىَ ذَلِكَ اسْتِمَضَارَشَيْخِهِ الْمُرْشِدِ لِيَكُوْنَ رَفِيْقَهُ فىِ السَّيِر إِلىَ الله تَعَالَى


Dan menyertakan pula kepada (dzikir Allah Allah) itu, akan hadirnya Gurunya yang memberi petunjuk, agar supaya menjadi teman dalam perjalan menuju kepada Allah Ta’ala. (Sayyid al Bakri dalam kitab Kifayatul atqiya, hlm. 107).

Pendapat Para Imam Tasawuf Tentang Rabithah

a. Imam Sya’rani dalam Nafahatu Adabidz Dzikri mengatakan, “Dianjurkannya kepada orang banyak supaya mereka mengamalkan adab dzikir yang 20 perkara itu. Dinyatakan adab yang ke-4: hendaklah sejak permulaan dzikir, himmah syaikhnya terus-menerus berada dalam kalbunya. Ke-5: dia menganggap bahwa limpahan dari gurunya itu pada hakikatnya adalah pancaran dari Nabi Saw karena syaikhlah merupakan wasilah murid dengan Nabi Saw. Dihayalkan rupa guru di depan matanya, inilah maksud rabithah, tidak lebih.

b. Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi dalam Risalah-nya, menyatakan bahwa apabila seseorang telah selesai dengan urusan dunianya, maka hendaklah ia mengambil wudhuk, lalu masuk ke tempat khalwatnya. Sesudah duduk, pertama-tama dia harus menghadirkan rupa guru.

c. Syaikh Abdul Ghani an Nablusi dalam komentarnya tentang Risalah Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi itu menyatakan bahwa itulah cara yang paling sempurna, sebab syaikh adalah merupakan pintunya ke hadirat Allah dan wasilah kepada-Nya. seperti Firman Allah dalam surat at Taubah ayat 119 di atas. Firman Allah dibawah ini menunjukkan bahwa rabithah mursyid adalah termasuk dzikir kepada Allah Swt yang maha rahman. Dzikir demikian itu mampu mengusir syetan. Bilamana orang enggan melakukan demikian, (dzikir dengan rabithah) maka Allah akan menyertakan orang tersebut dengan syetan yang selalu membelokkannya ke jalan yang lurus. Tetapi anehnya orang tersebut merasa mendapatkan petunjuk. Rasanya jauh api dengan panggang.

Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al Qur’an), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS. az Zukhruf : 36 – 37)

d. Syaikh Ubaidullah al Ahrar menyatakan bahwa maksud surat at Taubah ayat 119, yang artinya:

Wahai orang-orang mukmin takutlah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang benar. Di sini kita diperintahkan supaya berada bersama-sama dengan orang-orang yang benar, baik dari segi rupa maupun dari segi makna.

Namun demikian, walaupun rabithah merupakan faktor terpenting dalam thareqat, kalangan ulama di luar tasawuf masih menganggapnya sebagai bid’ah bahkan divonisnya sebagai perbuatan isyrak (menyerikatkan Allah) dengan guru atau syaikh. Dan permasalahan rabithah sampai kini masih tetap belum ada titik temu. Paham Wahabisme yang dijadikan ideologi Arab Saudi (sebagai negara Islam dan pusat peradaban Islam), sangat keras menentang rabithah, bahkan tidak hanya rabithah melainkan dzikir-dzikir dalam thareqat juga dianggap sebagai bid’ah.


TATA CARA RABITHAH

Rabithah artinya ikatan atau berhubungan, yang berarti proses terjadinya hubungan atau ikatan ruhaniyah antara seorang murid dengan Guru Mursyidnya. Mengikat atau menghubungkan diri dengan Manajemen Vertikal (Ilahiyah) seperti yang diungkapkan Al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang memiliki iman, bersabarlah! jadikanlah kesabaran atasmu, berabithahlah (agar diteguhkan), dan takutlah kepada Allah, mudah-mudahan engkau termasuk orang-orang beruntung”. (QS. Ali Imran[3]: 200)

Melakukan rabithah mengandung makna menghadirkan/ membayangkan rupa Syekh atau Guru Mursyidnya yang Kamilah di dalam fikiran ketika hendak melaksanakan ibadah, lebih khusus ketika berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Menurut beberapa Ulama shufi, berabithah itu lebih utama daripada dzikirnya seorang Salik. Melaksanakan rabithah bagi seorang murid lebih berguna dan lebih pantas daripada dzikirnya, karena Guru itu sebagai perantara dalam wushul ke hadirat Allah Jalla wa ‘Alaa bagi seorang murid. Apabila bertambah rasa dekat dengan gurunya itu, maka akan semakin bertambah pula hubungan batinnya, dan akan segera sampai kepada yang dimaksud, yakni makrifat. Dan seyogyanya bagi seorang murid harus Fana dahulu kepada Guru Mursyidnya, sehingga akan mencapai Fana dengan Allah Ta’ala”.[1]

Menurut Syekh Muhammad bin Abdulah Al-Khani Al-Khalidi dalam kitabnya Al-Bahjatus Saniyyah hal. 43, berabithah itu dilakukan dengan 6 (enam) cara:

1. Menghadirkannya di depan mata dengan sempurna.

2. Membayangkan di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada ruhaniyahnya sampai terjadi sesuatu yang ghaib. Apabila ruhaniyah Mursyid yang dijadikan rabithah itu tidak lenyap, maka murid dapat menghadapi peristiwa yang akan terjadi. Tetapi jika gambarannya lenyap maka murid harus berhubungan kembali dengan ruhaniyah Guru, sampai peristiwa yang dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu, muncul kembali. Demikianlah dilakukan murid berulang kali sampai ia fana dan menyaksikan peristiwa ghaib tanda Kebesaran Allah. Dengan berabithah, Guru Mursyidnya menghubungkannya kepada Allah, dan murid diasuh dan dibimbingnya, meskipun jarak keduanya berjauhan, seorang di barat dan lainnya di timur. Selain itu akan membentenginya dari pikiran-pikiran yang menyesatkan sehingga memicu pintu ruhani yang batil memasuki dirinya (baik ruhani-ruhani ataupun i’tikad-i’tikad yang batil),

3. Menghayalkan rupa Guru di tengah-tengah dahi. Memandang rabithah di tengah-tengah dahi itu, menurut kalangan ahli Thariqat lebih kuat dapat menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah Ta’ala.

4. Menghadirkan rupa Guru di tengah-tengah hati.

5. Menghayalkan rupa Guru di kening kemudian menurunkannya ke tengah hati. Menghadirkan rupa Syekh dalam bentuk keempat ini agak sukar dilakukan, tetapi lebih berkesan dari cara-cara sebelumnya.

6. Menafikan (meniadakan) dirinya dan mentsabitkan (menetapkan) keberadaan Guru. Cara ini lebih kuat menangkis aneka ragam ujian dan gangguan-gangguan.


Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad disebutkan: “Perkataan seorang mukmin yang menyeru ‘Wahai Fulan’ ketika di dalam kesusahan, termasuk dalam tawasul yang diseru kepada Allah. Dan yang diseru itu hanya bersifat majaz bukan hakikat. Makna ‘Wahai Fulan! Aku minta dengan sebabmu pada Tuhanku, agar Dia melepaskan kesusahanku atau mengembalikan barangku yang hilang dariku, yang diminta dari Allah SWT. Adapun yang diucapkan kepada Nabi/Wali menjadi sebagai majaz (kiasan) dan penghubung, maka niat meminta kepada Nabi/Wali hanyalah sebagai sebab saja.

Dan diucapkan pada syara’ dan adat, contohnya adalah seperti permintaan tolong kita kepada orang lain: ‘tolong ambilkan barang itu’. Maka apa yang sebenarnya adalah kita meminta tolong dengan sebab orang tadi, hakikatnya Tuhan Yang Kuasa atas segala sesuatunya. Apabila kita meyakini orang itu mengambil sendiri secara hakikatnya, maka barulah boleh dikatakan syirik. Maka begitu pulalah berabithah itu sebagai sebab yang menyampaikan bukan tujuan.

Berbicara mengenai sebab, telah banyak ayat Al-Quran dan Hadits Qudsi yang menyatakan bahwa segala perkara yang dibutuhkan manusia dan makhlukNya didapat dan dikaruniakan oleh Allah Yang Kuasa, apakah itu makanan, minuman, pakaian, rizki, kesembuhan, dan sebagainya. Maka untuk kesemuanya itu perlu adanya sebab yang menyampaikan. Penyampaiannya bisa cepat atau lambat. Dan seseorang yang menerima rizki dari seseorang lainnya, sepantasnyalah berterimakasih kepadanya sebagai adab atas penyampaian rizkinya itu. Begitu pulalah seseorang meminta akan sesuatu hanya kepada sahabat atau lainnya, tentu ada adab-adab atau tatacara tertentu yang harus dilakukan, agar hajatnya itu terpenuhi sesuai dengan kehendaknya. Dan tidak hanya lahiriyyah saja, perkara-perkara ruhaniyah memiliki adab atau tatacaranya, agar tercapai penyampaian maksudnya ke Hadhirat Allah Yang Suci.

Maka penyampaian kehendak seseorang hamba kepada lainnya, yakni yang membutuhkan sesuatu selain Allah adalah suatu bentuk majaz bukan hakikat. Kalau ia beri’tiqad memohon secara hakikat, maka jadilah syirik yang menyekutukan Tuhannya.

Adab Berdzikir Dalam Thariqat

Adab Berdzikir Dalam Thariqat


 

Untuk melaksanakan dzikir didalam thariqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al-Mafakhir Al-’Aliyah fi al-Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan, pada pasal Adab adz-Dzikr, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Sya’roni, bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima) adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas) adab dilakukan pada saat berdzikir, 2(dua) adab dilakukan setelah selesai berdzikir.

Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;

1. Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan.

2. Mandi dan atau wudlu.

3. Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah.

4. Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.

5. Menyakini bahwa dzikir thariqoh yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah Saw, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari beliau.

Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah;


1. Duduk di tempat yang suci seperti duduknya di dalam shalat..

2. Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.

3. Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.

4. Memakai pakaian yang halal dan suci.

5. Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.

6. Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dzahir, karena dengan tertutupnya indra dzahir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati/bathin.

7. Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thariqoh merupakan adab yang sangat penting.

8. Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang).

9. Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan sampai derajat ash-shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan) kepada syaikhnya. Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan bathiniyah).

10. Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah , karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan- bacaan dzikir syar’i lainnya.

11. Menghadirkan makna dzikir di dalam hatinya.

12. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah , agar pengaruh kata “illallah” terhujam di dalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.

Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;

1. Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thariqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadlah dan mujahadah tiga puluh tahun.

2. Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini – menurut ulama thariqoh- lebih cepat menyinarkan bashirah, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan–bisikan hawa nafsu dan syetan.

3. Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq (rindu) dan tahyij (gairah) kepada al-madzkur/Allah Swt yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.

Para guru mursyid berkata: ”Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.” Wallahu a’lam.