Rabu, 24 Februari 2016

Pengamalan Tasawuf Ala Al Habib Luthfi



Berikut ini petikan wawancara crew Habibluthfiyahya.net dengan Al Habib Luthfi bin Yahya. Dalam wawancara kali ini Al Habib menjelaskan bagaimana tasuf dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut ini petikan wawancara crew Habibluthfiyahya.net dengan Al Habib Luthfi bin Yahya. Dalam wawancara kali ini Al Habib menjelaskan bagaimana tasuf dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Apa pandangan-pandangan Al-Habib tentang tasawuf?
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri.
Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari tasawuf.
Bukankah hal semacam itu sudah diajarkan orang tua kita sejak kecil?
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi SAW.
Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita.
Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita.

Bagaimana sikap kita berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang sudah carut maut?

Mampukah ketika kita berhadapan dengan lingkungan yang demikian itu? Ketika kita asik-asiknya bergurau, maka berhentilah sejenak. Kita koreksi apakah ada sesuatu yang kurang pantas? Agar hal yang demikian itu tak dicontoh atau ditiru oleh anak-anak kita. Itu sudah merupakan tasawuf. Jadi dalam rangka pembersihan hati, bisa dimulai dari hal-hal kecil semacam itu.
Lalu kita tingkatkan dengan tutur sikap kita terhadap orang tua. Ketika kita makan bersama orang tua. Janganlah kita menyantap lebih dahulu sebelum bapak-ibu kita memulai dulu. Janganlah kita mencuci tangan dahulu sebelum kedua orang tua kita mencuci tangannya. Makanlah dengan memakai tangan kanan. Dan jangan sampai tangan kiri turut campur kecuali itu dalam kondisi darurat. Sebab Rasulullah tak pernah makan dengan kedua tangannya sekaligus. Ini sudah tasawuf.

Apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf?

Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat kepada kebesaran Allah SWT yang diberikan kepada kita. Itu karena fadhalnya Allah SWT.
Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah.
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.
Lantas dari mana kita mesti memulai untuk pembersihan hati tersebut?
Ikutlah dahulu ajaran fiqih yang tertera dalam kitab-kitab fiqh. Seperti arkanus shalat (rukun-syarat sholat), lalu adabut shalat, adabut thaharah dan seterusnya. Marilah itu semua kita pelajari dan kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita diundang untuk menghadiri acara walimah di sebuah gedung misalnya, maka kenakanlah pakaian yang bagus-bagus.
Sebab itu demi menghormat dan untuk menyaksikan kehalalan kedua mempelai di pelaminan. Untuk menghormati acara tersebut, kita menggunakan pakaian yang rapi. Sebab pada hakikatnya, kita telah menghormati Allah SWT yang telah menghalalkan hal tersebut.
Kita juga menghormati yang telah mengundang kita, serta menghormati sesama kita dalam gedung atau dalam jamuan tersebut. Kalau kita bisa menyaksikan aqdun nikah (akad nikah) secara demikian, mengapa kalau kita menghadap langsung kepada Allah SWT, tidak pernah melakukan penghormatan yang demikian itu?

A-Habib dikenal sebagai mursyid thariqah, tetapi kelihatan gemar memainkan alat musik?
Di sana kita akan menemukan kekaguman. Ilmullah yang ada dalam music itu sendiri. Diantaranya notnya itu hanya ada 7; do re mi fa sol la si do, do si la sol fa mi re do. Sedangkan oktafnya ada 7, suara miringnya 5, jadi ada 12. Yang memakai adalah di seliruh dunia, dan mengeluarkan lagu yang beragam. Itu merupakan satu hal yang sangat menarik.Ketika orang mendengarkan musik, mereka bisa menangis dan tertawa, bersedih dan bersuka ria. Nah, yang berupa benda saja bisa menghasilkan efek semacam itu. Lantas bagaimana kalau kita tengah mendengar lantunan  ayat Al-Qur’an sedang dibacakan? Mesti akan jauh lebih dari itu. (Ts/hly.net)

MACAN LASEM

“Sang Macan Putih dari Pulau Jawa” (edisi 1)

 
Beliau adalah Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie bin Sulaiman Al-Lasimy, lahir pada sekitar tahun 1908 M. di desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang dari pasangan KH. Sulaiman dengan Hj. Nyai Khodijah (Qolmini). Dari jalur ayah nasab beliau bersambung ke Asy-Syaikh As-Sayyid Mutamakkin Kajen Pati yang bersambung ke Asy-Syaikh As-Sayyid Achmad Rohmatulloh (Sunan Ampel) sampai ke Baginda Rosululloh SAW.
Sejak usia dini Asy-Syaikh KH. Mashduqie dididik oleh Ayahandanya sendiri, kemudian ketika menginjak remaja atas petunjuk KH. Sulaiman (Ayah Beliau) dan pamannya KH. Thoyyib, Beliau melanjutkan jenjang pendidikannya di Ponpes Termas yang diasuh oleh Asy Syaikh KH. Dimyati bin Abdullah yang merupakan adik dari
Asy Syaikh KH. Mahfudz bin Abdullah (Murid dari Pengarang Kitab I’anatuth Tholibin) yang disemayamkan di Makkah, sedangkan Asy Syaikh KH. Dimyati bin Abdullah disemayamkan di Termas. Beliau menimba ilmu disitu selama 11 tahun dengan rincian 3 tahun belajar dan 8 tahun mengajar, salah satu dari sekian banyak murid beliau ditermas adalah KH. Hamid Pasuruan. Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya pada
Asy-Syaikh KH. Masyhud (Pacitan).
Setelah keluar dari Pondok Termas Beliau kembali melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekkah Al-Mukarromah selama 6 tahun. Disana beliau belajar kepada Asy Syaikh Umar Hamdan Al-Maghrobi dan Asy Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki Al-Hasani Al-Maghrobi, sampai-sampai Beliau dipercaya menjadi Pengajar di Haromain. Di sana murid-murid Beliau banyak yang dari Tanah Air Indonesia, diantaranya adalah KH. Bisyri Musthofa dari Rembang, KH. Masyhuri dari Rejoso Jombang, dan lain-lain.
Beliau mendapat gelar Asy-Syaikh dikarenakan termasuk salah satu Ulama’ Indonesia yang mengajar di Masjidil Harom, pada waktu itu sebutan Syaikh dimiliki oleh 3 orang Ulama’, yaitu Syaikh Mashduqi Al-Lasimy, Syaikh Mahfudz Termas (Kakak kandung Syaikh Dimyati) dan Syaikh Yasin Al-Fadany.
Setelah pulang dari Mekkah beliau bertemu dengan Asy Syaikh KH. Sayyid Dahlan, Beliau adalah salah satu Masyayikh di Pekalongan. Beliau menikahkan Putrinya (Nyai Hj. Ma’rifah) dengan Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie dan mendirikan Pondok Pesantren di Pekalongan, murid-murid beliau yang ada di Termas banyak yang pindah ke Pekalongan dengan harapan dapat melanjutkan belajarnya pada Beliau.
Beliau sangat terkenal akan kealimannya, banyak beberapa hasil karya tulis beliau dari beberapa Fann Ilmu, setiap beliau mengaji suatu kitab, beliau pasti menerangkan panjang lebar seakan mensyarahi kitab tersebut.
Setelah beberapa tahun tinggal di Pekalongan, beliau kembali lagi ke Lasem Atas permintaan warga Lasem, dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Ishlah pada Tahun 1950 M. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menimba Ilmu pada beliau, diantaranya dari Pulau Jawa dan juga Luar Jawa, seperti Madura, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.
Sebelum adanya bangunan Ponpes Al-Ishlah, tanah yang akan dijadikan Pesantren tersebut merupakan tempat Judi, Pelacuran dan tempat pembantaian PKI. Jauh-jauh hari sebelum Syaikh Mashduqi dilahirkan, pejabat desa setempat mengeluh kepada Sayyid Abdurrohman (Mbah Sareman) --seorang Ulama’ dari Tuban yang bertempat di Lasem yang terkenal ke waliaannya-- dengan mengatakan “Mbah gimana tempat itu kok dibuat  sarang ma’shiyat?” lalu Mbah Sareman mengatakan bahwa “akan ada Harimau Putih dari barat melewati sungai yang akan menempati tempat itu, dan tanah itu akan menjadi tempat (produksi) Ulama di Tanah Jawa”.
Yang dimaksud dengan “Harimau Putih” adalah Asy-Syaikh KH. Mashduqi dan yang dimaksud “Sungai” adalah sungai Bagan yang terletak ± 700 M sebelah barat tanah Ponpes Al-Ishlah.
Diantara murid-murid beliau adalah KH. Ishomuddin (Pati), KH. Salim (Madura), KH. Mahrus Ali (Liriboyo, Kediri), KH. Zayadi (Probolinggo), KH. Abdullah Faqih (Langitan), KH. Miftahul Akhyar (Surabaya) Rois Suryah PWNU Jawa Timur, KH. Jazim Nur (Pasuruan), KH. Nur Rohmat (Pati), KH. Zuhdi Hariri (Pekalongan), KH. Taufiq (Pekalongan) Penasehat Thoriqoh An-Naqsyabandi Al-Haqqani, KH. Abdul Ghoni (Cirebon), KH. Nur Rohmat (Pati), KH. Abdul Mu’thi (Magelang) KH. Abdulloh Schal (Bangkalan, Madura), KH. Mashduqi (Cirebon) KH. Maktum (Cirebon), KH. Syaerozi (Cirebon) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie Al-Lasimy termasuk runtutan pewaris Tanah Jawa setelah kurun Asy-Syaikh Asnawi Banten yang dikenal sebagai simbol Tombak Mangku Mulyo (Quthbul Jawi), simbol tersebut merupakan warisan dari Asy-Syaikh Subakir, orang pertama Pembabat Tanah Jawa.
Pada tahun 1975 M. beliau kembali ke Rohmatullah, tepatnya tanggal 17 Jumadil Akhir Tahun 1396 H. dan disemayamkan di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Dan pada tahun itu pula Ponpes Al-Ishlah diteruskan oleh putranya, yaitu Asy-Syaikh KH. Chakim Mashduqie.
Biografi Singkat Asy-Syaikh KH. Chakim Mashduqie.
Asy-Syaikh KH. Chakim Mashduqie  dilahirkan pada sekitar tahun 1942 M. Beliau merupakan salah seorang putra dari Hadlorotusy Syaikh KH. Mashduqie bin Sulaiman Al-Lasimy.
Pendidikan beliau diperoleh dari ayahanda beliau sendiri Hadlorotusy Syaikh
KH. Mashduqie bin Sulaiman Al-Lasimy. Pada usia 12 tahun beliau sudah mengajarkan kitab Jam’ul Jawami’. Beliau mencurahkan Fikirannya pada beberapa Fann Ilmu Khususnya Ilmu Tauhid, sehingga beliau mampu mencetuskan sebuah karya tulis berlatar keUluhiyaan (Tauhid) yang berbentuk Sya’ir pada saat usia yang relatif muda yaitu 17 Tahun, karya tulis yang berbentuk Syair itu dinamai “Nadzom Ibnu Lasimy”. Kemudian Beliau mensyarahi kitab tersebut pada usia 40 tahun dan diberi nama
Adz Dzakhoirul Mufidah” yang sampai saat ini sudah tersebar di Bangladesh, Mekkah, Yaman, dan lain-lain. Tidak berhenti disitu, beliau juga mencurahkan Fikirannya pada Ilmu-ilmu yang bersifat Religi lainnya, diantaranya Karya tulis beliau yang berhubungan dengan Hadits-hadits Rosululloh SAW. yang dinamai dengan “Ghoyatul Marom Fi Ahaditsil Ahkam”.